![Hegemoni PT TPL: Dituduh Merampas 55 Hektar Warisan Warga Adiankoting Hegemoni PT TPL: Dituduh Merampas 55 Hektar Warisan Warga Adiankoting](https://cdns.klimg.com/kapanlagi.com/p/akbar_afi_4fsfdsf.jpg)
Hegemoni PT TPL: Dituduh Merampas 55 Hektar Warisan Warga Adiankoting
Konflik lahan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Tesso Pulp and Paper (TPP/PT TPL), dengan warga Desa Adiankoting, Kabupaten Pelalawan, Riau, kembali memanas. Warga menuduh PT TPL merampas 55 hektar warisan leluhur mereka.
Konflik ini telah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu dan berujung pada gugatan warga ke Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan. Namun, pengadilan memenangkan PT TPL, sehingga warga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru.
Warga Adiankoting mengklaim bahwa tanah yang dikuasai PT TPL merupakan warisan leluhur mereka yang telah mereka kelola secara turun-temurun. Mereka memiliki bukti berupa surat tanah adat dan surat keterangan penguasaan fisik bidang tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat.
Warga menilai bahwa PT TPL telah bertindak sewenang-wenang dalam menguasai tanah mereka tanpa melalui musyawarah atau ganti rugi yang layak. Mereka menuntut agar PT TPL mengembalikan tanah tersebut dan memberikan kompensasi atas kerugian yang mereka alami.
Di sisi lain, PT TPL membantah tuduhan tersebut. Perusahaan mengklaim memiliki Hak Guna Usaha (HGU) untuk lahan yang disengketakan dan telah memperolehnya secara sah dari pemerintah.
PT TPL menyatakan bahwa mereka telah melakukan pendekatan kepada warga dan memberikan kompensasi yang layak atas lahan yang digunakan. Perusahaan juga mengaku memiliki bukti-bukti pendukung, seperti peta lahan dan surat perjanjian dengan warga.
Berdasarkan data dari Kantor Pertanahan Kabupaten Pelalawan, PT TPL memiliki HGU seluas 26.537 hektar di Kecamatan Langgam, termasuk di dalamnya lahan yang disengketakan.
Sementara itu, warga Adiankoting mengantongi SKT yang dikeluarkan oleh Kantor Desa Adiankoting pada tahun 2011. SKT tersebut menyatakan bahwa lahan yang disengketakan merupakan tanah adat milik warga.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal "Land Use Policy" menunjukkan bahwa konflik lahan antara perusahaan perkebunan dan masyarakat adat sering kali disebabkan oleh kurangnya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka.
Berita-berita di media massa juga melaporkan kasus-kasus serupa di berbagai daerah di Indonesia, di mana perusahaan perkebunan dituduh merampas tanah warga tanpa kompensasi yang layak.
Konflik lahan antara PT TPL dan warga Adiankoting merupakan cerminan dari masalah agraria yang lebih luas di Indonesia. Ketidakjelasan kepemilikan tanah, lemahnya penegakan hukum, dan kesenjangan sosial-ekonomi sering kali memicu konflik serupa.
Konflik ini juga berdampak pada lingkungan hidup. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran dapat menyebabkan deforestasi, kehilangan habitat bagi satwa liar, dan polusi air.
Konflik lahan antara PT TPL dan warga Adiankoting belum menemukan titik terang. Kedua pihak memiliki perspektif dan bukti yang berbeda, sehingga pengadilan perlu mempertimbangkannya secara cermat.
Kasus ini juga menjadi pengingat bagi pemerintah untuk melakukan reformasi agraria secara komprehensif, mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka, dan memperkuat penegakan hukum di bidang pertanahan.
Solusi atas konflik lahan tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan masalah sesaat, tetapi juga untuk mencegah konflik serupa terulang di masa depan dan mewujudkan keadilan agraria bagi seluruh warga negara.
0 Comments: